Selasa, 11 Desember 2012

CERPEN


Si Pelit


Description: Pengembara dan si Pelit yang kehilangan harta

Seorang yang sangat pelit mengubur emasnya secara diam-diam di tempat yang dirahasiakannya di tamannya. Setiap hari dia pergi ke tempat dimana dia mengubur emasnya, menggalinya dan menghitungnya kembali satu-persatu untuk memastikan bahwa tidak ada emasnya yang hilang. Dia sangat sering melakukan hal itu sehingga seorang pencuri yang mengawasinya, dapat menebak apa yang disembunyikan oleh si Pelit itu dan suatu malam, dengan diam-diam pencuri itu menggali harta karun tersebut dan membawanya pergi.
Ketika si Pelit menyadari kehilangan hartanya, dia menjadi sangat sedih dan putus asa. Dia mengerang-erang sambil menarik-narik rambutnya.
Satu orang pengembara kebetulan lewat di tempat itu mendengarnya menangis dan bertanya apa saja yang terjadi.
"Emasku! oh.. emasku!" kata si Pelit, "seseorang telah merampok saya!"
"Emasmu! di dalam lubang itu? Mengapa kamu menyimpannya disana? Mengapa emas tersebut tidak kamu simpan di dalam rumah dimana kamu dapat dengan mudah mengambilnya saat kamu ingin membeli sesuatu?"
"Membeli sesuatu?" teriak si Pelit dengan marah. "Saya tidak akan membeli sesuatu dengan emas itu. Saya bahkan tidak pernah berpikir untuk berbelanja sesuatu dengan emas itu." teriaknya lagi dengan marah.
Pengembara itu kemudian mengambil sebuah batu besar dan melemparkannya ke dalam lubang harta karun yang telah kosong itu.
"Kalau begitu," katanya lagi, "tutup dan kuburkan batu itu, nilainya sama dengan hartamu yang telah hilang!"

"Harta yang kita miliki sama nilainya dengan kegunaan harta tersebut."

Sabtu, 01 Desember 2012

ANAK JALANAN


KATA PENGANTAR


            Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pendidikan Untuk Anak Jalanan“ Pembuatan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas individu dalam mata kuliah Filsfat Pendidikan dan untuk menambah wawasan mahasiswa dalam pemahaman mengenai pendidikan untuk anak jalanan. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Jenuri, S.Ag, M.pd selaku Dosen Filsafat pendidikan  yang telah memberikan bimbingannya dan kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan penyusunan makalah ini berikutnya.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi semua pihak. Akhir kata kami mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan.



                                                                           Bandung,   November 2010


                                                                                       Penyusun
                          

DAFTAR ISI




BAB I

PENDAHULUAN

          Pendidikan pada hakikatnya tiada lain adalah humanisasi. Tujuan pendidikan adalah terwujudnya manusia yang ideal atau manusia yang dicita-citakan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang dianut. Contoh manusia ideal yang menjadi tujuan pendidikan tersebut antara lain: manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, terampil, dst. Sebab itu pendidikan bersifat normatif dan mesti dapat dipertanggungjawabkan.
          Beberapa tahun terakhir ini, di Indonesia, perhatian sebagian warga masyarakat terhadap kehidupan anak-anak makin meningkat. Hal ini didorong oleh rasa kemanusiaan dan kondisi anak yang makin terpuruk. Kini, sosok anak-anak di Indonesia tampil dalam kehidupan yang kian tak menggembirakan. Hal itu tampak dari kian meningkatnya jumlah anak jalanan.
          Kondisi anak-anak yang kian terpuruk hanya teramati dari tampilan fisiknya saja. Padahal di balik tampilan fisik itu ada kondisi yang memprihatinkan, bahkan kadang-kadang lebih dahsyat. Kondisi ini disebabkan oleh makin rumitnya krisis di Indonesia seperti: krisis ekonomi, hukum, moral, dan berbagai krisis lainnya.

          Konvensi hak anak-anak yang dicetuskan oleh PBB (Convention on the Rights of the Child), sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990, menyatakan, bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-anak, maka mereka memerlukan perhatian dan perlindungan.


          Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan, maka masalah yang dibahas dibatasi pada masalah:
a.       Latar belakang anak jalanan
b.      Kegiatan anak jalanan
c.       Faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi anak jalanan
d.      Pemberdayaan anak jalanan
          Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah tersebut, masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana deskripsi kehidupan anak jalanan ?
2.      Apa yang menyebabkan mereka menjadi anak jalanan?
3.      Bagaimana cara supaya anak jalanan dapat memperoleh pendidikan?

          Karena begitu pentingnya peninjauan terhadap kualitas pendidikan sebagai aset di masa depan dan pendidikan  memiliki peran penting yang menjadi tonggak kemajuan suatu  bangsa, maka harus ada terobosan dalam memajukan pendidikan. Salah satunya dengan menyelenggarakan pendidikan untuk anak jalanan, karena masih banyak anank-anak yang tidak dapat memperoleh pendidikan.



E.      Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.      Menambah wawasan tentang anak jalanan
2.      Mengetahui pentingnya pendidikan untuk anak jalanan
3.      Memberitahukan bahwa tidak semua anak bisa mendapatkan pendidikan






BAB II

PEMBAHASAN



          Berkaitan dengan anak jalanan, umumnya mereka berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat dan ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif.

          Mereka itu ada yang tinggal di kota setempat, di kota lain terdekat, atau di propinsi lain. Ada anak jalanan yang ibunya tinggal di kota yang berbeda dengan tempat tinggal ayahnya karena pekerjaan, menikah lagi, atau cerai. Ada anak jalan yang masih tinggal bersama keluarga, ada yang tinggal terpisah tetapi masih sering pulang ke tempat keluarga, ada yang sama sekali tak pernah tinggal bersama keluarganya atau bahkan ada anak yang tak mengenal keluarganya.


          Menurut M. Ishaq (2000), ada tiga ketegori kegiatan anak jalanan, yakni : (1) mencari kepuasan; (2) mengais nafkah; dan (3) tindakan asusila.
Kegiatan anak jalanan itu erat kaitannya dengan tempat mereka mangkal sehari-hari, yakni di alun-alun, bioskop, jalan raya, simpang jalan, stasiun kereta api, terminal, pasar, pertokoan, dan mall.

          Keadaan kota mengundang maraknya anak jalanan. Kota yang padat penduduknya dan banyak keluarga bermasalah yang membuat anak kurang perhatian, kurang pendidikan, kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa, serta kehilangan hak untuk bermain, bergembira, bermasyarakat, dan hidup merdeka, atau bahkan mengakibatkan anak-anak dianiaya, fisik, seksual, oleh keluarga, teman, orang lain lebih dewasa.
          Diantara anak-anak jalanan, sebagian ada yang sering berpindah antar kota, mereka tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif.
          Seorang anak yang terhempas dari keluarganya, lantas menjadi anak jalanan disebabkan  oleh banyak hal. Penganiayaan kepada anak merupakan penyebab utama anak menjadi anak jalanan. Penganiayaan itu meliputi mental dan fisik mereka, lain daripada itu, pada umumnya anak jalanan  berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat dan ekonominya lemah.

          Pembinaan anak jalanan bisa secara nyata membantu program pemerintah untuk mengetaskan angka kemiskinan,terutama di perkotaan. Karena dengan pembinaaan anak-anak jalanan akan mempunyai keterampilan dan keahlian yang membuat mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka bisa mengembangkan kemampuannya dengan berwira usaha atau bekerja dengan keahliannya masing-masing.

         Dewasa ini yang disebut masyarakat yang berdaya adalah mereka yang memperoleh pemahaman dan mampu mengawasi daya-daya sosial, ekonomi, dan politik sehingga harkat dan martabatnya meningkat.
          Lebih jauh, Kindervatter (1979 : 13) mendefinisikan pemberdayaan atau empowering sebagai "people gaining an understanding of and control over social, economic, and/or political forces in order to improve their standing in society".
          Anak jalanan adalah anak yang terkategori tak berdaya. Mereka merupakan korban berbagai penyimpangan dari oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Untuk itu, mereka perlu diberdayakan melalui demokratisasi, pembangkitan ekonomi kerakyatan, keadilan dan penegakan hukum, partisipasi politik, serta pendidikan luar sekolah.

          Anak jalanan, pada hakikatnya, adalah "anak-anak", sama dengan anak-anak lainnya yang bukan anak jalanan. Mereka membutuhkan pendidikan. Pemenuhan pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik dan mental mereka. Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Kita tak cukup memberinya makan dan minum saja, atau hanya melindunginya di sebuah rumah, karena anak membutuhkan kasih sayang. Dan kasih sayang adalah fundamen pendidikan. Tanpa kasih sayang, pendidikan ideal tak mungkin dijalankan. Pendidikan tanpa cinta menjadi kering tak menarik.
  
          Dalam mendidik anak, ibu dan ayah harus sepaham. Mereka harus bertindak sebagai sahabat anak, kompak dengan guru, sabar sebagai benteng perlindungan bagi anak, menjadi teladan, rajin bercerita, memilihkan mainan, melatih disiplin, mengajari bekerja, dan meluruskan sifat buruk anaknya (misalnya : berkata kotor, berkelahi, suka melawan, pelanggaran sengaja, mengamuk, keras kepala, selalu menolak, penakut, manja, nakal).
          Keluarga yang ideal dan kondusif bagi tumbuh-kembangnya anak, sangat didambakan pula oleh anak-anak jalanan. Keluarga ideal bagi tumbuh kembang anak itu dapat digambarkan sebagai berikut :
          Pendidikan, pada prinsipnya, hendaknya mempertahankan anak yang masih sekolah dan mendorong mereka melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, juga memfasilitasi anak yang tak lagi bersekolah ke program pendidikan luar sekolah yang setara dengan sekolah. Program itu antara lain berupa : Kejar Paket A dan Kejar Paket B yang merupakan program pendidikan setara SD/SLTP dan pelatihan-pelatihan.
          Khusus untuk anak jalanan, menurut Ishaq (2000), pendidikan luar sekolah yang sesuai adalah dengan melakukan proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam wadah "rumah singgah" dan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), yaitu : anak jalanan dilayani di rumah singgah, sedangkan anak rentan ke jalan dan orang dewasa dilayani dalam wadah PKBM.
                    Rumah singgah dan PKBM itu dipadukan dengan sekaligus menerapkan pendekatan kelompok dan CBE (Community Based Education / pendidikan berbasis masyarakat) serta strategi pembelajaran partisipatif dan kolaboratif (participative and collaborative learning strategy).
          Program pendidikan yang terselenggara itu, antara lain, dapat berupa : Kejar Usaha; Kejar Paket A (setara SD); Kejar Paket B (setara SLTP); bimbingan belajar; Diktagama (pendidikan watak dan dialog keagamaan); Latorma (pelatihan olahraga dan bermain); Sinata (sinauwisata); Lasentif (pelatihan seni dan kreativitas); Kelompok Bermain; Kampanye KHA (Konvensi Hak Anak-anak); FBR (forum berbagi rasa); dan pelatihan Taruna Mandiri (M. Ishaq, 2000 : 371).  Materi pembelajarannya mencakup : agama dan kewarganegaraan; calistung (membaca-menulis-berhitung); hidup bermasyarakat; serta kreativitas dan wirausaha.

          Prestasi belajar dan keberhasilan program dievaluasi dengan tahapan self-evaluation berikut : (1) penetapan tujuan belajar; (2) perumusan kriteria keberhasilan belajar; (3) pemantauan kegiatan belajar; serta (4) penetapan prestasi belajar dan keberhasilan program.
          Hasil evaluasi itu diungkapkan pada akhir masing-masing kegiatan melalui laporan lisan atau tertulis. Hasil evaluasi kegiatan belajar insidental dilaporkan secara lisan atau ditempel pada papan pengumuman yang terdapat di rumah singgah atau PKBM, sedangkan hasil evaluasi kegiatan belajar berkesinambungan dilaporkan melalui buku raport. Adapun keberhasilan program diungkapkan secara berkala : harian, mingguan, bulanan, dan tahunan.
                    Penyelenggaraan program tersebut seyogyanya menerapkan partisipasi/kolaborasi maksimal, yaitu melibatkan berbagai pihak secara lintas sektoral, lintas disiplin ilmu, dan lintas kawasan dalam kerjasama secara maksimal, baik para akademisi maupun praktisi.
          Anak jalanan masih berpeluang untuk mengubah nasibnya melalui belajar; karena itu perlu menggali sumber atau pendukung program. Agar anak-anak jalanan mau mengikuti program, maka sumber belajar harus bersikap empati dan mampu meyakinkan kepada mereka, bahwa program pendidikan tersebut benar-benar mendukung pengembangan diri mereka.
          Untuk itu, penguasaan terhadap karakteristik dan kebutuhan belajar anak-anak jalanan akan sangat membantu para sumber belajar untuk bersik“Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang diatur dengan undang-undang”.

          Demikianlah bunyi dari pasal 31 UUD 45, yang dari dulu sampai sekarang belum berubah. Namun bagaimana realitanya? Apakah semua warga negara telah memperoleh hak tersebut?. Jawabannya mari kita amati sendiri.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, ini berarti setiap warga negara Indonesia tanpa membedakan status sosial dan ekonomi berhak mendapatkan pendidikan. Namun realita tidak berbicara demikian, seringkali pendidikan hanya berpihak pada satu kelompok sosial tertentu dan tak bersahabat dengan satu kelompok sosial lainnya. Sebagai contoh, mahalnya biaya pendidikan sekolah mengakibatkan adanya suatu paradigma bahwa sekolah hanya sebagai milik orang-orang kaya saja, bahkan akibat dari mahalnya biaya sekolah tersebut muncul ungkapan “orang miskin dilarang sekolah”.

          Sungguh ironis dan menyedihkan sekali kondisi pendidikan di negeri ini, karena tidak semua orang bisa menikmatinya. Bahkan yang paling menyedihkan adalah bila kita melihat anak-anak yang seharusnya mendapat pendidikan formal di sekolah, harus turun ke jalan untuk mencari sesuap nasi. Kondisi itulah yang menimpa anak-anak jalanan di negeri ini, disamping berbagai permasalahan lain yang tak kalah peliknya.

          Istilah anak jalanan sudah terdengar tidak asing lagi, termasuk di kalangan masyarakat umum. Anak jalanan seringkali dikategorikan dengan gelandangan dan pengemis. Hal ini dikarenakan terbukanya berbagai kemungkinan definisi mengenai anak jalanan.
          Salah satu definisi menyebutkan bahwa anak jalanan merupakan “seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau mempertahankan hidupnya”. (Shalahuddin, 2000a). Batasan umur dibawah 18 tahun digunakan dengan mengacu pada konvensi Hak Anak, sedangkan pengertian mengenai jalanan tidak sekedar menunjuk pada jalanan saja, tetapi juga menunjuk pada tempat-tempat lain seperti mall, pasar, alun-alun, terminal, taman kota, dan lain-lain.

          Menguak kehidupan anak jalanan terkesan seperti membuka lembaran hitam perjalanan manusia. Anak-anak yang selayaknya menikmati dunia kanak-kanaknya dengan belajar, berkreasi, mendapat bimbingan dan kasih sayang keluarga, serta berkembang secara wajar seiring dengan pertumbuhan usianya, nyatanya berada dalam situasi yang jauh berbeda. Anak-anak telah terpaksa atau dipaksa untuk mengarungi kehidupan yang sangat berat, syarat konflik, penuh dengan kekerasan dan ekspoitatif. Mereka harus berposisi sebagai orang dewasa kecil yang berjuang menapaki hidup untuk memperoleh nafkah bagi dirinya dan keluarganya, walaupun terkadang berbagai ancaman membayangi kehidupan mereka.
          Situasi kehidupan anak jalanan sebagaimana tergambar diatas terasa jauh sekali dengan semangat kehidupan anak-anak yang terumuskan di dalam Konvensi Hak-hak Anak (KHA). KHA yang telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989 merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap posisi anak sebagai manusia yang memiliki hak.
         Indonesia telah meratifikasi KHA pada tanggal 25 Agustus tahun 1990 melalui keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Ini berarti Indonesia telah menikatkan diri secara yuridis untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada dalam KHA tersebut. Salahsatunya adalah Hak atas pendidikan waktu luang dan kegiatan budaya. Maka pertanyaan penting yang layak diajukan adalah sejauh mana negara telah melaksanakan ketentuan tersebut terhadap anak jalanan?.
          Mengkaitkan kandungan hak-hak anak sebagaimana yang tercantum dalam KHA dengan realitas yang ada, maka akan terlihat suatu kesenjangan yang cukup tinggi. Penghormatan negara atas hak-hak anak jalanan dinilai masih sangat minim, bahkan pada kebijakan-kebijakan tertentu seperti razia-razia yang sarat dengan nuansa kekerasan, negara kerapkali dinilai melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak (jalanan).
          Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam rangka memenuhi hak-hak anak jalanan harus senantiasa ditingkatkan. Hal ini mengingat anak sebagai aset dan generasi penerus bangsa. Salahsatunya adalah dengan meningkatkan pelayanan pendidikan bagi anak-anak jalanan. Pendidikan yang dimaksudkan disini adalah pendidikan formal sebagaimana yang dicanangkan pemerintah dalam Gerakan Wajib Belajar 9 tahun dan tentu saja dengan biaya pendidikan gratis atau murah bagi anak-anak jalanan yang memiliki keluarga miskin.
          Selain pendidikan formal, pemerintah juga sebaiknya meningkatkan pembinaan keterampilan sebagai sebuah bentuk pendidikan non formal bagi anak-anak jalanan, diantaranya dengan cara memaksimalkan fungsi rumah singgah sebagai tempal berlatih keterampilan mereaka. Sehingga dengan adanya bekal ketermapilan, anak-anak jalanan ini akan mempunyai modal untuk bekerja yang lebih baik, tanpa harus mengamen atau mengemis lagi.
         Untuk itu, maka pemerintah harus mengalokasikan dana yang lebih besar bagi sektor pendidikan. Subsidi BBM yang telah dicabut, diharpkan dapat teralokasikan dengan baik ke sektor ini. Jangan sampai akibat subsidi dicabut, jumlah anak putus sekolah makin meningkat. Bila demikian halnya maka orang miskin akan semakin miskin dan terlantar.
          Semua ini harus menjadi perhatian bagi kita semua dan pemerintah khususnya, sehingga anak-anak yang biasa mangkal di lampu merah, mall, terminal, pasar dan sebagainya pada jam-jam sekolah, kini bisa menikmati bangku sekolah juga. Dengan masuknya anak-anak jalanan ke bangku sekolah, maka hal ini akan mengurangi jumlah anak yang tidak sekolah dan yang putus sekolah. Hal ini pada akhirnya akan memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia yang dinilai masih rendah dibanding dengan negara-negara lain. Mengingat belum meratanya kesempatan pendidikan yang mengakibatkan masih tingginya jumlah masyarakat Indonesia yang mengalami buta huruf.

          Mari kita beri kesempatan anak-anak jalanan untuk memperoleh kesempatan mendapat pendidikan yang sama dengan anak-anak lainnya. Pada umumnya orang beranggapan bahwa pendidik adalah sosok yang memiliki sejumlah besar pengetahuan tertentu, dan berkewajiban menyebarluaskannya kepada orang lain. Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan sebagai sosok yang bertugas mengonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan yang disampaikan pendidik.
          Semakin banyak informasi pengetahuan yang diserap atau simpan semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan yang mereka dapatkan sebagai individu terdidik.
          Anak-anak jalanan yang biasanya mengejar kepuasan batin ini, juga membutuhkan perhatian total dari pemerintah dan masyarakat. Kehidupan anak jalanan yang cerderung bebas dan urakan, membuat mereka jauh dari kesan terdidik.
           Empati kepada mereka. “Jika ingin mengubah pola pikir anak jalanan, alangkah baiknya, ubah dulu lingkungan terdekatnya dan ciptakan lingkungan baru yang punya potensi dapat mengubah, contohnya mendirikan rumah singgah bagi anak jalanan,”
          Selain itu, anak-anak jalanan sangat butuh pendidikan moral dan agama. Karena, lanjutnya, jalanan tempat mereka menjalani kehidupan tak mengajarkan kepada mereka tentang moral dan agama. “Jalanan hanya mendidik mereka tentang bagaimana melewati kehidupan yang keras ini dan mengajarkan tentang kebersamaan”.




BAB III

PENUTUP


          Realita kehidupan anak jalanan ini seakan memberi satu bukti bahwa proses pemerataan pendidikan yang dicanangkan pemerintah belum berjalan maksimal. “Jika hal ini tetap dibiarkan, maka harapan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terhambat. Oleh sebab itu, ada baiknya jika sistem pendidikan di Indonesia tak memihak kelompok manapun,”.



Untuk menanggulangi masalah pendidikan anak jalanan, maka pemerintah harus menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk anak jalanan, dan memberikan pendidikan gratis tanpa mengurangi mutu dan kualitas pendidikan. Memberikan keterampilan kepada mereka supaya mereka dapat mendapatkan kehidupan yang layak seperti halnya orang lain.






DAFTAR PUSTAKA


Ishaq, M. (1998). “pengembangan modul literasi jalanan untuk peningkatan kemampuan hidup bermasyarakat anak-anak jalanan”
Kindervater, S. (1979). Nation Educatin as An Empowering Process.