Keadaan
kota mengundang maraknya anak jalanan. Kota yang padat penduduknya dan banyak
keluarga bermasalah yang membuat anak kurang perhatian, kurang pendidikan,
kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa, serta kehilangan hak untuk bermain,
bergembira, bermasyarakat, dan hidup merdeka, atau bahkan mengakibatkan
anak-anak dianiaya, fisik, seksual, oleh keluarga, teman, orang lain lebih
dewasa.
Diantara
anak-anak jalanan, sebagian ada yang sering berpindah antar kota, mereka tumbuh
dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan,
penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan
membuatnya berperilaku negatif.
Seorang
anak yang terhempas dari keluarganya, lantas menjadi anak jalanan disebabkan oleh banyak
hal. Penganiayaan kepada anak merupakan penyebab utama anak menjadi anak
jalanan. Penganiayaan itu meliputi mental dan fisik mereka, lain daripada itu,
pada umumnya anak jalanan berasal dari
keluarga yang pekerjaannya berat dan ekonominya lemah.
Pembinaan anak jalanan bisa secara nyata membantu program
pemerintah untuk mengetaskan angka kemiskinan,terutama di perkotaan. Karena
dengan pembinaaan anak-anak jalanan akan mempunyai keterampilan dan keahlian
yang membuat mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka bisa
mengembangkan kemampuannya dengan berwira usaha atau bekerja dengan keahliannya
masing-masing.
Dewasa ini yang disebut masyarakat
yang berdaya adalah mereka yang memperoleh pemahaman dan mampu mengawasi
daya-daya sosial, ekonomi, dan politik sehingga harkat dan martabatnya
meningkat.
Lebih jauh, Kindervatter (1979 : 13) mendefinisikan pemberdayaan
atau empowering sebagai "people gaining an understanding of and control
over social, economic, and/or political forces in order to improve their
standing in society".
Anak jalanan adalah
anak yang terkategori tak berdaya. Mereka merupakan korban berbagai
penyimpangan dari oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Untuk itu, mereka
perlu diberdayakan melalui demokratisasi, pembangkitan ekonomi kerakyatan,
keadilan dan penegakan hukum, partisipasi politik, serta pendidikan luar
sekolah.
Anak jalanan,
pada hakikatnya, adalah "anak-anak", sama dengan anak-anak lainnya
yang bukan anak jalanan. Mereka membutuhkan pendidikan. Pemenuhan pendidikan
itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik dan mental mereka. Sebab,
anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak mempunyai dunianya
sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Kita tak cukup memberinya makan dan
minum saja, atau hanya melindunginya di sebuah rumah, karena anak membutuhkan
kasih sayang. Dan kasih sayang adalah
fundamen pendidikan. Tanpa kasih
sayang, pendidikan ideal tak mungkin dijalankan.
Pendidikan tanpa cinta menjadi kering tak menarik.
Dalam mendidik anak, ibu dan ayah harus sepaham. Mereka harus
bertindak sebagai sahabat anak, kompak dengan guru, sabar sebagai benteng
perlindungan bagi anak, menjadi teladan, rajin bercerita, memilihkan mainan,
melatih disiplin, mengajari bekerja, dan meluruskan sifat buruk anaknya
(misalnya : berkata kotor, berkelahi, suka melawan, pelanggaran sengaja,
mengamuk, keras kepala, selalu menolak, penakut, manja, nakal).
Keluarga yang ideal
dan kondusif bagi tumbuh-kembangnya anak, sangat didambakan pula oleh anak-anak
jalanan. Keluarga ideal bagi tumbuh kembang anak itu dapat digambarkan sebagai
berikut :
Pendidikan, pada prinsipnya, hendaknya mempertahankan anak yang
masih sekolah dan mendorong mereka melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Selain itu, juga memfasilitasi anak yang tak lagi bersekolah ke program
pendidikan luar sekolah yang setara dengan sekolah. Program itu antara lain
berupa : Kejar Paket A dan Kejar Paket B yang merupakan program pendidikan
setara SD/SLTP dan pelatihan-pelatihan.
Khusus
untuk anak jalanan, menurut Ishaq (2000), pendidikan luar sekolah yang sesuai
adalah dengan melakukan proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam wadah
"rumah singgah" dan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), yaitu :
anak jalanan dilayani di rumah singgah, sedangkan anak rentan ke jalan dan
orang dewasa dilayani dalam wadah PKBM.
Rumah singgah dan PKBM
itu dipadukan dengan sekaligus menerapkan pendekatan kelompok dan CBE (Community Based
Education /
pendidikan berbasis masyarakat) serta strategi pembelajaran partisipatif dan
kolaboratif (participative and collaborative learning strategy).
Program pendidikan yang terselenggara itu, antara lain, dapat berupa
: Kejar Usaha; Kejar Paket A (setara SD); Kejar Paket B (setara SLTP);
bimbingan belajar; Diktagama (pendidikan watak dan dialog keagamaan); Latorma
(pelatihan olahraga dan bermain); Sinata (sinauwisata); Lasentif (pelatihan
seni dan kreativitas); Kelompok Bermain; Kampanye KHA (Konvensi Hak Anak-anak);
FBR (forum berbagi rasa); dan pelatihan Taruna Mandiri (M. Ishaq, 2000 : 371). Materi pembelajarannya mencakup : agama dan kewarganegaraan;
calistung (membaca-menulis-berhitung); hidup bermasyarakat; serta kreativitas
dan wirausaha.
Prestasi belajar dan keberhasilan program dievaluasi dengan tahapan
self-evaluation berikut : (1) penetapan tujuan belajar; (2) perumusan kriteria
keberhasilan belajar; (3) pemantauan kegiatan belajar; serta (4) penetapan
prestasi belajar dan keberhasilan program.
Hasil evaluasi itu diungkapkan pada akhir masing-masing kegiatan melalui
laporan lisan atau tertulis. Hasil evaluasi kegiatan belajar insidental
dilaporkan secara lisan atau ditempel pada papan pengumuman yang terdapat di
rumah singgah atau PKBM, sedangkan hasil evaluasi kegiatan belajar
berkesinambungan dilaporkan melalui buku raport. Adapun keberhasilan program
diungkapkan secara berkala : harian, mingguan, bulanan, dan tahunan.
Penyelenggaraan program tersebut
seyogyanya menerapkan partisipasi/kolaborasi maksimal, yaitu melibatkan
berbagai pihak secara lintas sektoral, lintas disiplin ilmu, dan lintas kawasan
dalam kerjasama secara maksimal, baik para akademisi maupun praktisi.
Anak jalanan masih berpeluang untuk mengubah nasibnya melalui
belajar; karena itu perlu menggali sumber atau pendukung program. Agar
anak-anak jalanan mau mengikuti program, maka sumber belajar harus bersikap
empati dan mampu meyakinkan kepada mereka, bahwa program pendidikan tersebut
benar-benar mendukung pengembangan diri mereka.
Untuk itu, penguasaan terhadap karakteristik dan kebutuhan belajar
anak-anak jalanan akan sangat membantu para sumber belajar untuk
bersik“Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang diatur
dengan undang-undang”.
Demikianlah bunyi dari pasal 31 UUD 45, yang dari dulu sampai
sekarang belum berubah. Namun bagaimana realitanya? Apakah semua warga negara
telah memperoleh hak tersebut?. Jawabannya mari kita amati sendiri.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat
pengajaran, ini berarti setiap warga negara Indonesia tanpa membedakan status
sosial dan ekonomi berhak mendapatkan pendidikan. Namun realita tidak berbicara
demikian, seringkali pendidikan hanya berpihak pada satu kelompok sosial
tertentu dan tak bersahabat dengan satu kelompok sosial lainnya. Sebagai
contoh, mahalnya biaya pendidikan sekolah mengakibatkan adanya suatu paradigma
bahwa sekolah hanya sebagai milik orang-orang kaya saja, bahkan akibat dari
mahalnya biaya sekolah tersebut muncul ungkapan “orang miskin dilarang
sekolah”.
Sungguh ironis dan menyedihkan sekali kondisi pendidikan di negeri
ini, karena tidak semua orang bisa menikmatinya. Bahkan yang paling menyedihkan
adalah bila kita melihat anak-anak yang seharusnya mendapat pendidikan formal
di sekolah, harus turun ke jalan untuk mencari sesuap nasi. Kondisi itulah yang
menimpa anak-anak jalanan di negeri ini, disamping berbagai permasalahan lain
yang tak kalah peliknya.
Istilah anak jalanan sudah terdengar tidak asing lagi, termasuk di
kalangan masyarakat umum. Anak jalanan seringkali dikategorikan dengan
gelandangan dan pengemis. Hal ini dikarenakan terbukanya berbagai kemungkinan
definisi mengenai anak jalanan.
Salah
satu definisi menyebutkan bahwa anak jalanan merupakan “seseorang yang berumur
dibawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan
dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau mempertahankan hidupnya”.
(Shalahuddin, 2000a). Batasan umur dibawah 18 tahun
digunakan dengan mengacu pada konvensi Hak Anak, sedangkan pengertian mengenai
jalanan tidak sekedar menunjuk pada jalanan saja, tetapi juga menunjuk pada
tempat-tempat lain seperti mall, pasar, alun-alun, terminal, taman kota, dan
lain-lain.
Menguak kehidupan anak jalanan terkesan seperti membuka lembaran
hitam perjalanan manusia. Anak-anak yang selayaknya menikmati dunia
kanak-kanaknya dengan belajar, berkreasi, mendapat bimbingan dan kasih sayang
keluarga, serta berkembang secara wajar seiring dengan pertumbuhan usianya,
nyatanya berada dalam situasi yang jauh berbeda. Anak-anak telah terpaksa atau
dipaksa untuk mengarungi kehidupan yang sangat berat, syarat konflik, penuh
dengan kekerasan dan ekspoitatif. Mereka harus berposisi sebagai orang dewasa
kecil yang berjuang menapaki hidup untuk memperoleh nafkah bagi dirinya dan
keluarganya, walaupun terkadang berbagai ancaman membayangi kehidupan mereka.
Situasi kehidupan anak jalanan sebagaimana tergambar diatas terasa
jauh sekali dengan semangat kehidupan anak-anak yang terumuskan di dalam
Konvensi Hak-hak Anak (KHA). KHA yang telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada
tahun 1989 merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap posisi anak sebagai
manusia yang memiliki hak.
Indonesia telah meratifikasi KHA pada tanggal 25 Agustus
tahun 1990 melalui keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Ini berarti Indonesia
telah menikatkan diri secara yuridis untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang
ada dalam KHA tersebut. Salahsatunya adalah Hak atas pendidikan waktu luang dan
kegiatan budaya. Maka pertanyaan penting yang layak diajukan adalah sejauh mana
negara telah melaksanakan ketentuan tersebut terhadap anak jalanan?.
Mengkaitkan kandungan hak-hak anak sebagaimana yang tercantum dalam
KHA dengan realitas yang ada, maka akan terlihat suatu kesenjangan yang cukup
tinggi. Penghormatan negara atas hak-hak anak jalanan dinilai masih sangat
minim, bahkan pada kebijakan-kebijakan tertentu seperti razia-razia yang sarat
dengan nuansa kekerasan, negara kerapkali dinilai melakukan pelanggaran
terhadap hak-hak anak (jalanan).
Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam rangka memenuhi hak-hak anak
jalanan harus senantiasa ditingkatkan. Hal ini mengingat anak sebagai aset dan
generasi penerus bangsa. Salahsatunya adalah dengan meningkatkan pelayanan
pendidikan bagi anak-anak jalanan. Pendidikan yang dimaksudkan disini adalah
pendidikan formal sebagaimana yang dicanangkan pemerintah dalam Gerakan Wajib
Belajar 9 tahun dan tentu saja dengan biaya pendidikan gratis atau murah bagi
anak-anak jalanan yang memiliki keluarga miskin.
Selain pendidikan formal, pemerintah juga sebaiknya meningkatkan
pembinaan keterampilan sebagai sebuah bentuk pendidikan non formal bagi
anak-anak jalanan, diantaranya dengan cara memaksimalkan fungsi rumah singgah
sebagai tempal berlatih keterampilan mereaka. Sehingga dengan adanya bekal
ketermapilan, anak-anak jalanan ini akan mempunyai modal untuk bekerja yang
lebih baik, tanpa harus mengamen atau mengemis lagi.
Untuk itu, maka pemerintah harus mengalokasikan dana yang lebih
besar bagi sektor pendidikan. Subsidi BBM yang telah dicabut, diharpkan dapat
teralokasikan dengan baik ke sektor ini. Jangan sampai akibat subsidi dicabut,
jumlah anak putus sekolah makin meningkat. Bila demikian halnya maka orang
miskin akan semakin miskin dan terlantar.
Semua
ini harus menjadi perhatian bagi kita semua dan pemerintah khususnya, sehingga
anak-anak yang biasa mangkal di lampu merah, mall, terminal, pasar dan
sebagainya pada jam-jam sekolah, kini bisa menikmati bangku sekolah juga. Dengan masuknya anak-anak jalanan ke bangku sekolah, maka hal ini
akan mengurangi jumlah anak yang tidak sekolah dan yang putus sekolah. Hal ini
pada akhirnya akan memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia yang dinilai
masih rendah dibanding dengan negara-negara lain. Mengingat belum meratanya
kesempatan pendidikan yang mengakibatkan masih tingginya jumlah masyarakat
Indonesia yang mengalami buta huruf.
Mari kita beri
kesempatan anak-anak jalanan untuk memperoleh kesempatan mendapat pendidikan
yang sama dengan anak-anak lainnya. Pada umumnya orang beranggapan bahwa pendidik adalah sosok yang
memiliki sejumlah besar pengetahuan tertentu, dan berkewajiban
menyebarluaskannya kepada orang lain. Demikian juga, subjek didik sering
dipersepsikan sebagai sosok yang bertugas mengonsumsi informasi-informasi dan
pengetahuan yang disampaikan pendidik.
Semakin banyak informasi pengetahuan yang diserap atau simpan
semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan
yang mereka dapatkan sebagai individu terdidik.
Anak-anak jalanan yang biasanya mengejar kepuasan batin ini, juga
membutuhkan perhatian total dari pemerintah dan masyarakat. Kehidupan anak
jalanan yang cerderung bebas dan urakan, membuat mereka jauh dari kesan
terdidik.
Empati kepada mereka. “Jika ingin mengubah pola pikir anak jalanan, alangkah baiknya,
ubah dulu lingkungan terdekatnya dan ciptakan lingkungan baru yang punya
potensi dapat mengubah, contohnya mendirikan rumah singgah bagi anak jalanan,”
Selain itu, anak-anak jalanan sangat butuh pendidikan moral dan
agama. Karena, lanjutnya, jalanan tempat mereka menjalani kehidupan tak
mengajarkan kepada mereka tentang moral dan agama. “Jalanan hanya mendidik
mereka tentang bagaimana melewati kehidupan yang keras ini dan mengajarkan tentang
kebersamaan”.
Ishaq, M. (1998). “pengembangan modul literasi
jalanan untuk peningkatan kemampuan hidup bermasyarakat anak-anak jalanan”
Kindervater, S. (1979). Nation Educatin as An
Empowering Process.